Friday, February 23, 2007

No Trust Society

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Dalam suatu perbincangan dengan pemilik Power PR, Christovita Wiloto, terungkap pertanyaan, “mengapa kita begitu sulit keluar dari berbagai masalah?”. Secara normatif, tidak sulit menjawab pertanyaan ini karena memang banyak sekali teori tentang pemecahan masalah yang jitu, misalnya dengan teori “ice breaking” dan lain-lain.

Yang sulit adalah bagaimana mempraktikannya. Kesulitan muncul karena sekarang ini kita berada dalam suatu masyarakat yang berisi individu-individu yang tidak memiliki rasa saling percaya satu sama lain (no trust society). Ketidaksalingpercayaan itu dapat kita temukan misalnya dalam unit keluarga, ormas, parpol, atau bahkan dalam tubuh pemerintah kita.

Populernya lagu “SMS” yang mengisahkan tentang ketidaksalingpercayaan antara suami dan istri menggambarkan betapa sulitnya membangun rasa saling percaya dalam keluarga. Apalagi dalam unit yang lebih besar, misalnya dalam ormas, parpol, atau bahkan dalam kehidupan bernegara.

Orang hanya percaya pada dirinya sendiri. Coba perhatikan, pada saat ormas atau parpol melakukan pemilihan pemimpin baru, tak jarang calon-calon yang tak terpilih dalam proses pemilihan itu di kemudian hari akan mendirikan ormas atau parpol baru lantaran tak percaya dengan kepemimpinan orang lain. Motivasi berorganisasi bukan untuk merealisasikan cita-cita atau ideologi tertentu, tapi sekedar untuk “kursi pimpinan” yang menjadi pelepas libido kekuasaan.

Dalam bernegara pun demikian, begitu banyak lembaga-lembaga negara lahir dengan nama komisi ini-itu, atau lembaga ini-itu, lantaran tidak percaya dengan lembaga-lembaga yang sudah ada. Apakah dengan demikian masalah menjadi selesai? Tidak juga. Yang ada hanyalah pemborosan uang negara di tengah sebagian besar warga negara yang kian terpuruk lantaran hidup dalam kemiskinan.

Semakin kita hidup dalam suasana no trust society, akan semakin besar masalah-masalah yang kita hadapi. Karena sekecil apa pun masalah, bila ditangani dengan rasa saling curiga (apalagi dengan pertikaian), tidak mungkin masalah itu bisa kita atasi.

Maka, bagaimana mangatasi masalah-masalah bangsa yang kian kompleks ini, kata kuncinya adalah dengan kebersamaan dan rasa saling percaya dan saling membantu. Inilah yang disebut oleh Robert Putnam (1993, 1995, 2002), Prancis Fukuyama (1999, 2002), James Coleman (1990, 1998), dan masih ada beberapa ilmuan yang lain, sebagai social capital (modal sosial).

Secara garis besar, modal sosial memiliki unsur-unsur seperti adanya partisipasi dalam suatu jaringan, reciprocity (saling berbalas kebajikan), trust (kepercayaan), norma-norma sosial, nilai-nilai, dan tindakan-tindakan yang proaktif.

Melihat berbagai masalah yang kita hadapi, kiranya modal sosial merupakan keniscayaan yang harus kita tumbuhkan mulai dari diri kita masing-masing, dalam keluarga kita, organisasi yang kita ikuti, dan dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita jalani. Dengan modal sosial yang memadai, sebesar apa pun masalah yang ada di negeri ini, tentu akan terasa ringan dan mudah diatasi.

Wednesday, February 14, 2007

Misteri Beras


Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Bukan roh, jin, setan, atau makhluk jadi-jadian, tapi misterius, itulah beras. Negeri ini, dari zaman nenek moyang hingga kini, masih disebut sebagai negeri agraris. Sebagian besar penduduknya mengaku –setidaknya tercantun di KTP—berprofesi petani. Kalau kita menyusuri jalan-jalan di pantai utara pulau Jawa (Pantura), akan kita saksikan hamparan sawah yang begitu luas. Sejumlah kota seperti Karawang, Indramayu, Cianjur, dll menyandang predikat sebagai lumbung padi.

Sejauh ini Bulog mengaku memiliki 750 ribu ton stok beras yang siap disebar ke pasar. Selain itu, guna meringankan beban warga korban banjir, pemerintah akan membagikan beras gratis sebanyak 10 kilogram per orang kepada sekitar 300 ribu jiwa selam dua bulan. Bahkan, hingga bulan depan, pemerintah telah menyiapkan 6.000 ton beras yang siap diambil dari gudang Departemen Sosial untuk operasi pasar.Anehnya, di sejumlah pasaran, beras seringkali langka. Kalaupun ada, harganya melonjak tak terkendali. Ratusan ton beras yang digelontorkan pemerintah melalui operasi pasar tetap tak mampu menekan kenaikan harga. Dalam seminggu terakhir, harga beras di pasaran terus merangkak naik. Sebagian besar rakyat yang sudah jatuh miskin, terkena bencana banjir, tanah longsor, dan lain-lain, dengan kenaikan harga bahan-bahan pokok, terutama beras, nasibnya semakin memburuk.

Yang lebih aneh lagi, di kalangan pemerintah sendiri sering terjadi selisih paham, antara Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan dengan Kepala Perum Bulog. Tahun lalu, Menteri Pertanian mengatakan stok beras cukup, sementara Kabulog mengatakan kurang. Kini giliran Menteri Perdagangan yang mengatakan stok beras cukup. Bahkan Menteri Pertanian Anton Apriyantono Kamis (8/2) lalu berjanji pemerintah tidak akan mengimpor beras sepanjang 2007, selain yang sudah terlanjur diizinkan sebanyak 500.000 ton. Kita tidak tahu mana yang benar, soalnya Selasa (13/2), Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumumkan rencana pemerintah untuk kembali mengimpor beras.

Di negeri ini memang tak ada data –terutama dari ucapan pemerintah-- yang benar-benar bisa dipercaya. Yang jelas dirasakan masyarakat, beras langka, hingga harganya terus melonjak. Kelangkaan beras bisa disebabkan dua hal. Ditahan (ditimbun) para spekulan, atau memang benar-benar kekurangan stok karena sejumlah petani gagal panen, baik disebabkan karena kekeringan maupun banjir. Apa pun penyebabnya, yang jelas pemerintah wajib memenuhi kebutuhan pokok ini. Membiarkan beras langka di pasaran, sama artinya dengan membiarkan sebagian besar rakyat kelaparan.

Tugas pokok pemerintah adalah untuk mengabdi dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat. Jika tugas ini tak mampu diemban, pemerintah sekarang ini akan dipertanyakan keberadaannya. Buat apa keberadaan pemerintah kalau rakyat tak merasakan manfaatnya?

Untuk itu, seperti biasa, kita tak bosan-bosan menghimbau kepada pemerintah agar bersikap tegas. Jika impor beras memang dibutuhkan, ya harus dijalankan meskipun sebagian anggota parlemen menolaknya, meskipun ada menteri yang mengatakan beras cukup. Untuk sekarang ini, setidaknya ada tiga manfaat dari impor beras: (1) untuk memenuhi kebutuhan rakyat; (2) mencegah lonjakan harga di pasar; dan (3) memukul para spekulan yang hobi menimbun beras.

Friday, February 9, 2007

Mimpi Bebas Banjir

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Menjadikan Jakarta bebas banjir tampaknya belum menjadi harapan, melainkan masih angan-angan. Ada perbedaan mendasar antara harapan dan angan-angan. Harapan adalah keinginan yang didukung sejumlah fakta yang mengarah pada terwujudnya keinginan, betapa pun kecilnya fakta itu. Sedangkan angan-angan merupakan keinginan yang tidak didukung oleh fakta, atau malah didukung oleh fakta yang semakin menutup kemungkinan terwujudnya keinginan itu. Angan-angan lebih menyerupai mimpi daripada harapan.

Mari kita perhatikan fakta-fakta ini. Pertama, luas tanah Jakarta tidak bertambah, atau malah makin menyempit karena abrasi, sementara penduduknya terus bertambah. Kedua, tanah kosong atau jalur hijau yang diharapkan menjadi lahan serapan air semakin berkurang lantaran pemukiman dan fasilitas bisnis yang terus bertambah dan melebar secara horizontal. Ketiga, bantaran sungai yang mestinya menampung air pada saat pasang, umumnya tertutup oleh hunian –baik resmi maupun liar—dan sampah-sampah. Lebar sungai-sungai di Jakarta semakin menyempit, dari yang umumnya 75 meter menjadi 35 meter. Keempat, kondisi lingkungan di wilayah hulu sungai (terutama Bogor dan Cianjur) yang makin buruk semakin menambah debet air yang mengalir turun ke wilayah Jakarta. Kelima, belum tumbuhnya kesadaran kolektif untuk menanggulangi kemungkinan timbulnya bencana, terutama yang disebabkan banjir.

Mengapa fakta-fakta itu muncul? Tak perlulah kita mencari kambing hitam, misalnya dengan menyalahkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau masyarakat. Menurut saya, masing-masing dari tiga komponen ini punya andil dalam memunculkan fakta-fakta di atas.

Menjadikan Jakarta bebas banjir tampaknya tidak realistis, yang paling mungkin adalah bagaimana menjadikan kota metropolitan ini –meminjam istilah seorang teman, Eep Saifulloh Fatah—bersahabat dengan banjir. Artinya, banjir memang tak dapat dihindari. Pada saat curah hujan melebihi ambang batas penampungan drainase yang ada di Jakarta, sudah pasti ibukota kita ini akan terendam air.

Meskipun kita tak bisa menolak, setidaknya Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) bisa memperkirakan kapan datangnya curah hujan yang berlebih itu. Dari perkiraan BMG, pemerintah bisa memberikan peringatan dini, dan seluruh komponen masyarakat –dibantu pemerintah—bisa “menyambut” kedatangan banjir dengan persiapan yang cukup sehingga tidak menimbulkan dampak yang destruktif luar biasa seperti yang terjadi sekarang ini. Semakin kecil dampak yang timbul akibat banjir, semakin pandailah kita bersahabat dengan “bencana umat Nabi Nuh” ini.

Banjir bisa datang kapan saja tanpa peduli presidennya siapa, gubernurnya dari mana, dan masyarakatnya dari golongan atau suku apa. Oleh karena itu, jika ada pejabat atau calon pejabat yang menjanjikan Jakarta bebas banjir, tak perlu hirau karena ia sedang bermimpi..

Yang dibutuhkan dari pejabat atau calon pejabat adalah political will untuk: (1) bersama segenap komponen masyarakat meminimalisasi kebiasaan buruk yang menimbulkan banjir; (2) menegakkan peraturan yang berkaitan dengan penggunaan lahan dan tata ruang atau tata kota; (3) menumbuhkan sensitivitas masyarakat –tanpa harus paranoia—sehingga menumbuhkan kesiap-siagaan kolektif pada saat bahaya banjir mengancam.

Friday, February 2, 2007

Pidato Presiden

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Sempat maju mundur, akhirnya pidato awal tahun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terwujud juga,. di Istana Merdeka, Rabu (31/1) sore. Dalam pidatonya, antara lain SBY menekankan perlunya stabilitas nasional.

"Gerakan dan cara-cara berpolitik yang nyata-nyata mengguncangkan stabilitas nasional kita, apalagi bersifat inkonstitusional, tentu harus kita hentikan, meskipun tetap dengan cara-cara yang demokratis dan menjunjung tinggi supremasi hukum," kata Presiden.

Apa yang disampaikan SBY ini menurut saya merupakan kelanjutan dari pernyataan sebelumnya bahwa memasuki tahun 2007 Presiden akan bertindak lebih tegas dan tidak melakukan kompromi-kompromi politik.

Kita menyambut baik pernyataan presiden yang selama ini dinilai kurang tegas, tersandra oleh keinginan partai-partai dan hegemoni internasional. Kita tunggu, beberapa hari kedepan, apakah pernyataannya itu benar-benar direalisasikan.

Langkah pembubaran Consultative Group on Indonesia (CGI) barangkali salah satu bukti keberanian SBY, begitu pun upaya-upayanya yang keras dalam memberantas terorisme dan jaringan narkoba. Dengan langkah-langkahnya ini, nama baik Indonesia mulai terangkat di dunia internasional. Amien Rais yang terkenal kritis terhadap SBY pun mengakui nilai positif ini.

Masalahnya, nama baik di mata internasional –kalau benar demikian—tidak cukup punya pengaruh signifikan untuk memperbaiki kondisi sosial politik dalam negeri. Masih dibutuhkan ketegasan-ketagasan lain, misalnya dalam menjamin keamanan investasi baik dalam maupun luar negeri, memperbaiki peraturan ketenagakerjaan, dan UU tentang Perpajakan.

Keberhasilan membuat UU yang dilakukan rezim sebelumnya, meskipun didukung oleh kekuatan partai besar, harus berani dirombak jika UU tersebut terbukti bisa menghambat lajunya perekonomian nasional. Jika perombakan dihambat parlemen (karena tidak didukung partai besar), Presiden harus berani mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU atau yang semacamnya. Sepanjang tujuannya untuk memajukan dan menyejahterakan rakyat, saya kira, langkah-langkah terobosan semacam itu perlu dilakukan.

Selain itu, keberanian Presiden juga ditunggu dalam rangka memperbaiki kinerja para pembantunya. Terhadap menteri-menteri yang terbukti gagal, atau terbukti melakukan kesalahan fatal, Presiden harus berani menggantinya dengan yang lebih kapabel, meskipun menteri yang bersangkutan didukung oleh kekuatan partai besar. Untuk memperbaiki kinerja pemerintahan, kompromi dengan (kepentingan) partai-partai seyogianya ditinggalkan.

Transisi demokrasi di negeri ini sudah berjalan lebih dari satu windu, ditandai dengan euforia politik dan kebebasan berekspresi yang luar biasa. Kita tidak ingin transisi ini berkepanjangan. Di samping kebebasan, rakyat juga butuh kesejahteraan. Karenanya, sudah tinggi saatnya bagi pemerintah untuk melakukan penataan dengan membangun stabilitas politik, bukan dengan tangan besi, melainkan dengan penataan birokrasi dan perundang-undangan yang kondusif bagi perbaikan perekonomian nasional, tentu saja dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak asasi manusia.

Friday, January 26, 2007

Belajar pada Matahari (2)

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Matahari adalah sumber energi bagi semua kehidupan di bumi. Energi panas yang dipancarkannya pas, proporsional, sesuai kebutuhan. Bayangkan jika panas matahari berkurang 13 persen saja, menurut para ahli, permukaan bumi akan diselimuti lapisan es setebal 1,5 km; atau jika panasnya bertambah 30 persen, matahari akan merebus semua makhluk Tuhan yang ada di permukaan bumi. Matahari betul-betul luar biasa.

Lantaran kagum, kiranya wajar belaka jika pada saat berpetualang mencari Tuhan, Ibrahim sempat terkecoh, mengira matahari sebagai Tuhan. Di mata Ibrahim, matahari begitu hebat, baik dari bentuk maupun pancaran sinarnya. Maka tak perlu heran juga jika ada penduduk bumi yang menyembah matahari.

Matahari tak hanya hebat, ia juga tak pernah ingkar janji. Tidak pernah telat, tidak pula tergesa-gesa. Ia selalu datang dan pergi pada saat yang tepat. Matahari muncul untuk membangkitkan semangat, terbenam untuk memberi kedamaian saat istirahat. Hanya para maling dan penghisap darah yang membenci kedatangannya.

Begitu hebatnya matahari, hingga para pemimpin yang bijak dan tegas akan berbunga-bunga hatinya, saat diumpamakan bagaikan matahari. Saat ada dua pemimpin yang menonjol dengan kekuatan yang sama dalam suatu negara, di negara itu akan disebut ada “dua matahari”. Banyak orang menamakan anaknya dengan matahari dalam berbagai bahasa (seperti Syam, Surya, Mentari, Baskoro, dll) dengan harapan kelak akan menjadi pemimpin, seperti matahari.

Pemimpin yang baik adalah yang mau belajar pada matahari. Mau memerintah sercara proporsional, tidak ragu-ragu, tidak juga otoriter. Karagu-ruaguan pemimpin akan membuat rakyat kehilangan arah dan kebingungan. Suasana demikian akan sangat mudah dimanfaatkan oleh para petualang untuk mengail ikan di air keruh, memanas-manasi suasana dan memprovokasi sehingga mencuatkan konflik baik vertikal maupun horizontal. Sedangkan keotoriteran pemimpin akan membuat rakyat sengsara, tertekan, dan merasa diperbudak.

Bagaikan matahari, pemimpin yang baik akan memegang teguh janjinya dan tidak hanya mengumbar harapan kosong. Kedatangannya membawa semangat, tidak menjadi beban yang merepotkan. Kepergiaannya membawa kedamaian, tidak meninggalkan petaka. Segenap rakyat akan mengelu-elukan kehadirannya, kecuali koruptor dan para pengkhianat.

Jika matahari mengatur cuaca dan mengarahkan angin, pemimpin yang baik akan mengatur irama kehidupan dengan arahan-arahannya yang jelas dan perintah-perintahnya tegas. Mampu memberikan energi yang memompa semangat, menumbuhkan motivasi, dan mewariskan optimisme bagi segenap rakyat.

Friday, January 12, 2007

Pentingnya Komunikasi Antar Elite

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Seusai Rakernas, 7-9 Januari 2007, di Bali, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggelar acara ulang tahun (HUT) ke-34 dengan mengundang tokoh-tokoh nasional antara lain Abdurrahman Wahid, Syafii Maarif, Akbar Tandjung, Try Soetrisno, Hasyim Muzadi, dan Din Syamsuddin.

Meskipun tidak semua tokoh yang diundang hadir, namun sudah cukup bagi kita untuk menangkap sinyal apa di balik undangan tersebut. Setidaknya, tampak dengan jelas PDIP berupaya menjalin komunikasi dengan elite-elite negeri ini yang sangat jarang atau bahkan secara formal tidak pernah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekalipun.

Dengan menjalin komunikasi antar elite, PDIP tampaknya ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak eksklusif, mau membuka diri dengan semua kalangan, termasuk dari kelompok yang dalam Pemilu 2004 lalu tidak mendukung, atau bahkan menjadi lawan PDIP.

Di tengah situasi tanah air kita yang penuh dengan cobaan –terutama disebabkan karena bencana yang datang bertubi-tubi—komunikasi antar elite politik menjadi sangat urgen. Dengan berkomunikasi secara intensif, para tokoh itu diharapkan bisa bertukar pikiran untuk mencari jalan keluar dari segala masalah yang dihadapi bangsa ini.

Yang menjadi pertanyaan kita, kenapa upaya-upaya konstruktif semacam ini tidak dilakukan pada saat PDIP berkuasa, atau pada saat Megawati Soekarnoputeri masih menjadi orang nomor satu di negeri ini? Padahal jika komunikasi antar elite itu dimotori oleh presiden, tentu pesan yang ditangkap publik akan lain.

Komunikasi antar elite yang digagas presiden akan menunjukkan kenegarawanan sang presiden. Presiden ingin mengajak semua komponen bangsa untuk bersatu, bersama-sama mencari penyelesaian segala persoalan yang dihadapi. Sayangnya, Megawati melakukan itu pada saat tidak lagi menjadi Presiden, bukan pada saat masih menjadi Presiden.

Karena itu, bukan tidak mungkin, akan banyak kalangan melihat PDIP –dengan mengundang tokoh-tokoh itu—sebagai manuver politik, setidaknya agar mereka mendukung Megawati sebagai calon presiden 2009 mendatang sebagaimana yang telah direkomendasikan dalam Rakernas.

Tapi, sudahlah. Terlepas dari beberapa kekurangan PDIP, apa yang dilakukannya di Bali, patut kita apresiasi. Artinya masih ada kemauan bagi PDIP untuk membuka diri, merangkul tokoh-tokoh yang berpengaruh baik secara sosial maupun politis.

Pasti akan lebih baik jika upaya demikian (komunikasi antar elite) itu dilakukan oleh SBY yang kini tengah berkuasa. Mengapa demikian? Karena presiden yang masih duduk di kursi jabatannya, tentu akan lebih mengetahui dan memahami detil persoalan yang dihadapi bangsa ini. Dengan memahami detil persoalan, akan lebih mudah bagi presiden untuk mencari jalan keluarnya, apalagi jika didukung dengan jalinan kerjasama yang erat dengan berbagai golongan dan lapisan masyarakatnya.

Masalahnya, sekarang ini, ada kesan yang kuat bahwa Presiden SBY berjalan one man show, enggan berkomunikasi dan meminta gagasan pada para elite politik yang berada di luar kekuasaan. Padahal, persoalan yang dihadapinya (terutama berbagai bencana) sangatlah berat. Percayalah, persoalan yang berat akan terasa ringan jika dihadapi dan ditanggulangi bersama-sama.

Friday, December 15, 2006

Pelajaran dari Serambi Mekah

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur dan Bupati/Walikota yang berlangsung serempak di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Senin (11/12) lalu memberikan pelajaran berharga bagi partai politik.

Besaran jumlah pendukung dalam Pemilu 2004 lalu, konsolidasi dan kampanye yang berbusa-busa, ternyata tidak berpengaruh. Partai Golkar dan PDIP boleh berjaya di Banten dengan memenangkan Ratu Atut-Masduki. Di Aceh, kedua partai besar ini harus gigit jari, menjadi pecundang.

Menurut hasil perhitungan cepat (quick count) Lingkaran Suvei Indonesia (LSI) dan Jaringan Isu Publik (JIP), pasangan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar memperoleh kemenangan suara mutlak dibandingkan pasangan-pasangan lain. Padahal, tidak ada partai yang mendukung pasangan ini. Irwandi-Nazar, seperti kita tahu, adalah aktivis Gerakan Aceh Merdea (GAM) yang maju lewat jalur independen.

Kemenangan Irwandi-Nazar ini menjadi kritik tajam, bukan hanya pada partai politik, tapi juga pada sistem politik, terutama keberadaan UU Pemilu, UU Partai Politik, dan UU Susduk yang masih memberikan kekuasaan pada partai politik. Oligarki partai terbukti tidak efektif, setidaknya di bumi Serambi Mekah.

Kalau kita mau sedikit jeli membaca fenomena Pilkada di seluruh Indonesia, sebenarnya bukan hanya Aceh yang bisa membuktikan betapa tidak efektifnya oligarki partai. Jika oligarki partai berfungsi, seharusnya Partai Golkar dan PDIP bisa menang di mayoritas wilayah Indonesia. Nyatanya tidak demikian.

Secara normatif, oligarki partai akan memutus aspirasi publik. Mayoritas rakyat harus rela memilih calon-calon yang telah menjadi pilihan partai politik. Jika aspirasi partai ekuivalen dengan aspirasi rakyat, tentu tidak ada masalah. Pada faktanya, aspirasi rakyat hanya dijadikan bahan kampanye. Setelah pemilihan usai, aspirasi rakyat umumnya ditekuk, dilipat, dan dimasukkan keranjang sampah.

Untuk para wakil rakyat yang kini tengah memperbarui UU Politik, cobalah berpikir jernih. Belajarlah pada Aceh yang bukan hanya menjadi perhatian publik Indonesia, tapi juga publik internasional. Di Aceh, Pilkada berjalan efisien karena dilakukan secara serempak. Mengapa tidak dibuat hal yang sama untuk wilayah seluruh Indonesia?

Di Serambi Mekah, calon-calon kepala daerah relatif selamat dari pemerasan partai-partai karena adanya jalur independen. Mengapa juga tidak diberlakukan di seluruh Indonesia?

Dengan adanya pencalonan melalui jalur independen, demokrasi tak terkebiri, hak asasi tak terbeli. Tanpa tergantung pada partai politik, setiap orang punya hak untuk mencalonkan atau tidak mencalonkan diri.

Banyak yang berpendapat, calon independen tidak berkeringat. Betulkah? Saya tidak percaya. Berkeringat atau tidaknya seseorang bukan dinilai dari kiprahnya pada partai, bukan dari besaran uang setorannya pada partai, tapi dinilai dari dedikasinya pada rakyat, sumbangsihnya pada bangsa.

Bagi masyarakat Serambi Mekah, meskipun bukan aktivis partai, Irwandi-Nazar dianggap lebih berkeringat memperjuangkan rakyat Aceh, dibandingkan calon-calon yang lain. Hasil Pilkada membuktikan itu.