Tuesday, September 5, 2006

Hiruk-Pikuk Wacana Reshuffle Kabinet

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institue


Tuntutan agar Presiden Yudhoyono untuk melakukan reshuffle kabinet kembali berkumandang nyaring, terutama dari kalangan elite politik di lembaga legislatif (DPR). Terlepas dari ragam motivasi yang melatari lahirnya tuntutan itu, adalah menarik untuk mencermati sikap sejumlah menteri yang kebetulan mendapat sorotan publik karena dianggap layak untuk diganti.

Menteri-menteri yang dimintai komentar mengenai tuntutan reshuffle, pada umumnya menjawab secara normatif –lebih tepatnya, diplomatis—bahwa untuk mempertahankan atau mereshuffle anggota kabinet adalah sepenuhnya menjadi hak prerogatif presiden. Jadi, dengan penuh kesadaran dan pemahaman yang utuh mengenai pembagian wewenang pejabat negara, mereka selalu menyatakan diri siap jika sewaktu-waktu presiden akan melakukan reshuffle.

Ada sejumlah alasan mengapa para menteri tidak begitu hirau dengan tuntutan reshuffle: pertama, pada zaman susah seperti sekarang, ada semacam keyakinan bahwa siapa pun yang diberi tugas mengelola bangsa ini, pasti akan gagal. Karena keterpurukan bangsa ini sudah sampai pada titik buntu untuk menemukan jalan keluarnya yang tepat.

Kedua, untuk menjadi pejabat negara di era keterbukaan politik seperti sekarang, bukan kemewahan yang luar biasa sebagaimana pejabat negara di era Orde Baru. Akibat keterbukaan dan kebebasan pers, setiap pejabat negara –termasuk anggota kabinet—senantiasa dipantau, bukan saja kinerjanya, tapi juga masalah-masalah yang melingkupi pribadinya, termasuk jumlah rekening, rumah, dan bila perlu jumlah istri “tidak resmi”-nya.

Ketiga, pada saat muncul tuntutan untuk mereshuffle kabinet, biasanya muncul pula pendapat yang mengatakan bahwa, reshuffle kabinet tidak banyak membantu, karena para menteri hanyalah pembantu presiden.

Begitulah, terutama karena alasan ketiga tadi, lantas menteri-menteri yang menjadi sorotan publik pun merasa tak terusik dengan tuntutan reshuffle. Mereka malah merasa nyaman, berlindung di balik kebaikan hati presiden.

Banyak terdengar kabar bahwa tidak maksimalnya kinerja kementerian karena para menteri mengeluh terlalu banyak rapat tetapi presiden lambat dalam mengambil keputusan. Ada juga berita tidak resmi yang menyebutkan bahwa menteri-menteri sudah banyak mengajukan program kepada pemerintah –dalam hal ini presiden—tapi tidak diputuskan dengan cepat oleh presiden.

Kalau yang demikian itu terbukti benar, saya kira tidak tepat kalau kemudian keluhan dan kesalahan terus ditimpakan kepada presiden. Kalau ada menteri yang merasa tidak cocok dengan gaya kepemimpinan dan karakteristik presiden, tentu akan lebih baik jika yang bersangkutan mengundurkan diri. Sangat tidak etis jika ada menteri yang jelas-jelas “menikmati” fasilitas jabatannya sebagai menteri, sementara yang bersangkutan kerjanya hanya mengeluh, tidak bias bekerja maksimal, dan jika dikritik kesalahannya ditimpakan ke presiden.

Di manapun, setiap pejabat negara dituntut untuk bekerja maksimal untuk rakyat. Jika gagal, jangan merasa bahwa kegagalan itu disebabkan karena orang lain, apalagi karena presiden. Tanggungjawab pejabat negara, tak selamanya institusional, terutama yang berkaitan dengan tugas-tugas yang khusus berkaitan dengan alasan-alasan khusus mengapa presiden memilih dirinya.

Jadi, kalau kita berpedoman pada asas meritokrasi, setiap menteri bertanggungjawab secara individual atas kesuksesan dan atau kegagalan kementerian yang dipimpinnya. Kalau merasa gagal, atau dinilai gagal oleh masyarakat, tentu akan sangat terhormat jika menteri yang bersangkutan menyatakan diri mundur dari jabatannya. Tidak perlu menunggu presiden yang memintanya mundur.

Dengan mundur dari jabatan menteri, selain akan dinilai sebagai bentuk penghargaan atas pentingnya menjaga kredibilitas, ia juga akan lebih dihormati karena dianggap tahu menempatkan diri. Bisa saja, kegagalan seorang menteri, bukan lantaran ia bodoh atau tidak mampu. Tapi karena tugas yang diembannya tidak sesuai dengan kompetensi dasar yang dimilikinya, atau karena hambatan birokrasi yang memang lamban dan korup.

Yang menjadi masalah, umumnya menteri-menteri di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) sekarang, merupakan titipan dari partai-partai sebagai konsekuensi logis dari realitas politik kepartaian yang kekuatannya menyebar, tidak mengerucut misalnya pada dua kekuatan: memerintah atau menjadi oposisi.

Dalam konteks ini, para elite partai besar yang menuntut dilakukan reshuffle kabinet pun belum tentu didasarkan atas keinginan untuk memperbaiki kinerja pemerintah, melainkan untuk menuntut jatah tambahan lantaran belum puas dengan memiliki anggota kabinet dalam jumlah yang minimal. Makanya, kita mafhum, jika partai-partai kecil yang over-represented dalam kabinet, tidak banyak menuntut, atau malah diam saja.