Thursday, September 14, 2006

Membela Kebebasan

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Kebebasan adalah hak asasi setiap orang. Siapa pun berhak memperjuangkan dan membela kebebasan yang diinginkannya. Meskipun tentu, dalam memperjuangkan hak, tidak bisa diabaikan adanya kewajiban.

Itulah sebab, mengapa jargon Revolusi Prancis (1789) adalah kebebasan (liberte), persamaan (egalite) dan persaudaraan (fraternite). Kebebasan dan persamaan adalah hak, sedangkan persaudaraan menuntut pemenuhan kewajiban. Jadi kebebasan yang harus kita perjuangkan dan bela adalah yang menghormati hak-hak orang lain.

Masalahnya, nomenklatur tentang kebebasan --yang sering disebut dengan libelisme-- di negeri ini lebih cenderung distortif sehingga apa pun yang dihubungkan dengan kata itu senantiasa dipandang secara pejoratif, bahkan negatif.

Doktrin mengenai kebebasan yang negatif itu sudah ditanamkan oleh Presiden Pertama RI, Soekarno, yang nota bene adalah proklamator kebebasan (kemerdekaan) negeri ini. Ia yang memproklamasikan kebebasan, ia pula yang membunuh kebebasan. Sebagai orator ulung, Soekarno teramat piawai meyakinkan, betapa buruknya dampak liberalisme, bagi kehidupan rakyat baik di bidang politik maupun ekonomi.

Dalam ekonomi, liberalisme diidentikkan dengan ekonomi pasar yang berwatak laissez-faire, yakni suatu kebebasan penuh untuk menentukan pasar, tanpa kendali siapa pun, termasuk negara. Dalam suasana demikian, sudah pasti akan terjadi pertarungan antara pedagang kaya dengan yang miskin. Dan ujungnya, yang kaya pasti menang, yang miskin harus rela mati.

Sebagai penawar dari laissez-faire, Soekarno menjargonkan “gotong royong”, dan Hatta merumuskannya dalam konsep ekonomi koperasi yang hingga saat ini belum terbukti benar keampuhannya menyejahterakan rakyat.

Dalam politik, liberalisme identik dengan kebebasan tumbuhnya partai-partai yang bersaing satu sama lain tanpa kendali. Para elite partai terus cek-cok, saling bertikai, mengokohkan egoisme partainya masing-masing, mengabaikan kepentingan rakyat.

Maka era demokrasi liberal, yang antara lain melahirkan pemilu 1955 yang paling demokratis sepanjang sejarah negeri ini, diberangus oleh Soekarno, dengan menjargonkan “Demokrasi Terpimpin” yang diberlakukan melalui Dekrit Presiden, 5 Juli 1959.

Rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto, melanjutkannya dengan “Demokrasi Pancasila”.

Bagaimana dampak buruk dari kedua versi demokrasi artifisial itu, perlu uraian tersendiri. Yang jelas, sepanjang rezim Orde Lama (Soekarno pasca Dekrit) dan Orde Baru, kebebasan yang merupakan hak dasar setiap warga negara, ternistakan di bawah ancaman penjara, moncong senjata, dan injakan sepatu lars.

Untuk tidak kembali pada masa lalu yang buram itulah, saya perlu mengajak para pembaca untuk memperjuangkan dan membela kebebasan, sebagaimana rakyat Prancis membela liberte, egalite, dan fraternite.