Tuesday, September 19, 2006

Konvensi Capres PDIP dan Langkah Elegan Megawati

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menegaskan, Kongres PDI-P di Bali pada April 2005 belum resmi mengamanatkan siapa yang akan dicalonkan sebagai calon presiden pada Pemilu 2009. Bagi Megawati, sangat tidak tepat berbicara soal calon presiden di tengah kondisi bangsa yang karut-marut seperti sekarang.

Pernyataan itu disampaikan Megawati pada saat meresmikan Kantor DPC PDI-P di Majalengka, Minggu (17/9). Megawati tampaknya kurang nyaman dengan pernyataan Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDI-P Tjahjo Kumolo yang mengatakan partainya akan mengusulkan kembali Megawati sebagai calon presiden dari PDI-P pada Pemilu 2009 mendatang.

Padahal menurut staf khusus Megawati, Ari Junaedi, putri Bung Karno itu persilakan kader-kader PDI Perjuangan terbaik untuk maju ke depan. “Jangan saya terus yang nenek dari tujuh cucu ini,” ujar Megawati, seperti dikutip Ari (Kompas, 19/9).

Menurut Megawati, sebaiknya semua komponen bangsa bersatu padu menyingsingkan lengan untuk mengatasi persoalan bangsa yang tiada henti. ”Lihatlah penderitaan rakyat yang makin susah sejak harga BBM dinaikkan, tengoklah rakyat Sidoarjo yang tergenang lumpur panas, ingatlah dengan korban musibah tsunami di Aceh, gempa bumi di Pangandaran dan Yogya, banjir di Sinjai dan Bima, dan kini mereka yang menderita akibat kekeringan,” katanya.

Bahkan, menurut Ari, tidak kali ini saja Megawati menyatakan sinyal-sinyal soal calon presiden dari PDI-P untuk Pemilu 2009. Dalam berbagai kunjungan kerja di berbagai daerah, Megawati berulang kali meminta kesiapan kadernya untuk terus melakukan kaderisasi di tubuh partai.

Cara elegan

Kalau benar Megawati menginginkan kadernya untuk maju, dan berpesan agar tidak terus-menerus menghendaki dirinya, berarti ia telah menempuh langkah elegan yang patut kita apresiasi. Coba kita perhatikan, sekarang ini ada partai-partai (terutama yang merasa dirinya besar) yang terus menerus mendorong Ketua Umumnya agar bersedia dicalonkan menjadi presiden. Padahal sang Ketua Umum belum tentu dikehendaki publik. (Menurut survei nasional Lembaga Survei Indonesia, belum ada tokoh yang mengungguli popularitas SBY).

Saya jadi teringat ketika zaman Orde Baru dulu, pada saat Soeharto terus-menerus didorong oleh para aktivis Golkar untuk tetap menjadi presiden (untuk ketujuh kalinya). Padahal, rakyat sudak tidak menghendaki Soeharto, maka terjadilah krisis multidimensi yang melanda bangsa ini, yang memaksa Soeharto lengser dari kursi kepresidenan yang telah didudukinya selama 32 tahun.

Akibat dorongan para elite politik waktu itu –yang banyak mengambil keuntungan dari kedekatannya dengan kekuasaan– Soeharto harus mengakhiri jabatan kepresidenan dengan cara yang jauh dari elegan. Belajar dari kasus Soeharto, Megawati, atau siapa pun yang berambisi menjadi presiden, harus pandai-pandai mengukur diri, memperhatikan dengan jeli apakah rakyat menghendaki dirinya atau tidak. Jika rakyat menghendaki, majulah dengan cara-cara yang elegan. Namun jika rakyat tidak menghendaki, mundurlah, dengan cara yang elegan pula.

Dorongan dari para kader pun harus dilihat secara cermat. Apakah benar sang kader tengah mendorong berdasarkan potensi, ataukah sedang memuji dan menjilat agar diperhatikan dan diberi jabatan. Setiap tokoh besar, pasti ada di antara kadernya yang bermental “asal bapak/ibu senang”.

Konvensi partai

Tampaknya Megawati sadar betul dengan peranan dirinya yang begitu dominan di PDI-P. Ia sadar, dengan posisinya seperti sekarang, banyak kader oportunis yang akan mengambil manfaat, misalnya dengan cara menyanjung, menganggap dirinya paling pas menjadi presiden (lagi), dan lain-lain.

Dengan terbebas dari jeratan para oportunis, Megawati telah terbuka peluang yang sangat luas bagi PDI-P untuk meningkatkan suaranya dalam Pemilu 2009. Karena ada peluang bagi PDI-P untuk menggelar konvensi penjaringan calon presiden.

Sebagai partai terbesar kedua (menurut Pemilu 2004) tentu akan banyak kalangan yang berminat menjadi capres dari PDI-P. Artinya, PDI-P bisa menarik tokoh-tokoh penting di luar partai untuk mengikuti konvensi, dan PDIP bisa memaksimalkan peranan mereka dalam upaya memenangkan Pemilu 2009.

Partai Golkar telah melakukan konvensi pada saat menjelang Pemilu Presiden lalu. Meskipun calon yang diusungnya kalah, namun Golkar telah mendapatkan banyak manfaat dari konvensi yang digelarnya itu, karena masing-masing peserta konvensi berkomitmen untuk ikut memenangkan Golkar.

Tapi, menurut saya, itu saja tidak cukup. Untuk lebih memaksimalkan peranan konvensi sebagai sarana untuk meningkatkan suara dalam Pemilu, pesertanya tidak perlu dibatasi pada para pengurus partai baik di pusat maupun daerah seperti yang telah dilakukan Golkar. Peserta konvensi harus dibuka seluas-luasnya bagi segenap warga masyarakat. Kalau pun dibutuhkan persyaratan administratif, cukup dengan menunjukkan kartu anggota DPI-P.

Kalau pesertanya dibuka luas seperti itu, saya yakin, masing-masing peserta konvensi calon presiden akan menjaring anggota PDI-P sebanyak-banyaknya. Dengan demikian, terbuka luas kemungkinan pemilih PDI-P pada Pemilu mendatang akan bertambah banyak sejalan dengan bertambahnya anggota yang direkrut oleh calon presiden peserta konvensi.

Itu baru dari dampak pelaksanaan konvensi. Apalagi kalau ditambah dengan kerja keras kader-kader partai, tentu penambahan suara PDI-P pada Pemilu mendatang akan lebih signifikan.