Thursday, October 5, 2006

Atas Nama Agama, Bangsa, dan Negara?

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Intelektual Iran, yang menurut Amien Rais, pikiran-pikirannya sangat menggerakkan dan berpengaruh bagi Revolusi Iran (1979), Dr. Ali Shariati, menyebut ada empat penjara manusia yang potensial menghambatnya dari kemajuan, yakni materi, alam, masyarakat atau sejarah, dan ego.

Dalam kolom pendek ini saya ingin menggarisbawahi satu saja dari keempat penjara itu, yakni penjara masyarakat yang menurut saya masih sangat kuat membelenggu kesadaran kita sehingga kita terus terpuruk berkepanjangan. Penjara masyarakat ini bisa mewujud pada agama, bangsa, dan negara.

Pada saat diajukan pertanyaan, untuk apa kita berjuang dalam hidup ini? Bagi yang merasa dirinya saleh (beragama) mengatakan, untuk Allah semata; yang merasa dirinya patriotis mengatakan, untuk kepentingan bangsa; dan yang merasa dirinya nasionalis mengatakan, untuk kepentingan negara. Jarang sekali ditemukan jawaban, untuk kepentingan pribadi (individu), padahal inilah jawaban yang paling jujur!

Di samping jujur, jawaban terakhir ini yang paling benar. Mengapa? Tidak benar kalau kita hidup untuk Allah karena Allah tidak membutuhkan kita. Kitalah yang membutuhkan Allah. Allah adalah Zat yang Maha Cukup dan Mencukupi, tidak membutuhkan siapa pun. Kita berjuang di jalan Allah itu benar. Tapi kita berjuang bukan untuk memenuhi kebutuhan Allah. Kita berjuang untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri agar mendapatkan ridha Allah.

Kurang tepat kita mengatakan hidup kita untuk kepentingan bangsa. Karena kita hidup untuk kepentingan diri kita sendiri, kepentingan individual. Pada saat kepentingan individu saling berinteraksi dan saling membutuhkan maka akan terbentuklah suatu bangsa. Adanya suatu bangsa karena adanya individu, adanya kepentingan bangsa karena adanya kepentingan individu.

Tidak benar juga kalau kita mengatakan hidup kita untuk kepentingan negara. Yang benar –sekali lagi—kita hidup untuk kepentingan diri kita sendiri, kepentingan individual. Pada saat kepentingan individu saling berinteraksi dan saling membutuhkan tak jarang terjadi benturan kepentingan, yang kuat menindas yang lemah. Untuk menjaga agar pola hubungan itu berjalan proporsional dan adil maka dibutuhkan aturan main yang dalam bahasa para sosiolog disebut kontrak sosial.

Kontrak sosial itu bisa tertulis atau tidak tertulis. Yang tidak tertulis akan menjadi bagian dari adat istiadat, sedangkan yang tertulis akan menjadi hukum positif dan konstitusi (undang-undang). Keberadaan hukum positif dan konstitusi itulah yang meniscayakan adanya negara, yang kita sebut dengan negara hukum. Artinya, adanya negara karena adanya hukum.

Cara pandang bahwa kita beragama, berbangsa, dan bernegara untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan individual inilah yang masih langka dalam masyarakat kita. Pada umumnya kita berpretensi hidup dan berjuang untuk kepentingan agama, bangsa, atau negara. Agama, bangsa, dan negara memenjarakan kita, menjadikan hidup kita tergantung, tidak bebas, tidak kreatif.

Selain membunuh kebebasan dan kreativitas, karena berpretensi untuk kepentingan agama, bangsa, dan negara, kita sering menistakan orang lain (atas nama agama), dan kita sering merampok (dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara).

Pelajaran Berharga dari Tony Blair

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

“The British people will, sometimes, forgive a wrong decision.
They won’t forgive not deciding.
They know the choice are hard”
--Tony Blair


Perdana Menteri Ingrris, Tony Blair, menyampaikan pidato perpisahan di hadapan peserta konferensi tahunan Partai Buruh, 26 September 2006 lalu di Manchester, Inggris. Dalam pidatonya, antara lain Blair menyatakan bahwa rakyat Inggris akan memaafkan sebuah keputusan meskipun (kadang-kadang mungkin tidak tepat); (sebaliknya) mereka tidak akan memaafkan (pemimpin) yang tak mengambil keputusan apa pun; (karena) mereka tahu (suatu keputusan) dipilih dengan cara yang tidak mudah.

Tony Blair tampaknya sadar betul bahwa beberapa kebijakan politiknya, terutama dukungannya terhadap invasi Amerika ke Irak, serta kedekatannya dengan Presiden Bush, oleh sebagian rakyat Inggris dianggap bukan bekijakan yang tepat. Tetapi sebagai pemangku jabatan Perdana Menteri tiga periode berturut-turut, Blair tahu betul bagaimana karakter rakyat Inggris yang lebih suka memaafkan keputusan yang salah daripada tidak mengambil keputusan sama sekali.

Keputusannya mendukung kebijakan AS, mungkin kurang tepat, tetapi mendukung terorisme jelas tidak mungkin. Terorisme merupakan kejahatan yang kini mengancam dunia, termasuk rakyat Inggris. Bersama Presiden Bush, PM Blair ikut ambil bagian dalam perjuangan melawan terorisme internasional. Blair yakin, rakyat Inggris tahu betul dengan keputusannya yang berat ini.

Tony Blair adalah sedikit dari pemimpin dunia yang tegar dan berani mengambil keputusan. Meskipun dalam mengambil keputusan, terkadang menyulut kontroversi, membuat popularitasnya menurun sehingga dalam pemilu lokal awal Mei lalu, Partai Buruh kalah telak, toh ia tetap konsisten menjaga setiap keputusan yang sudah diambilnya.

Sadar dengan popularitasnya yang kian menurun, Blair menyatakan diri akan mundur pada tahun ini juga. Ia tak ingin, hanya karena ambisi pribadinya, Partai Buruh akan kalah dalam pemilu Inggris Raya yang akan datang. Untuk itulah, dalam farewell speech-nya Blair tak henti-henti memotivasi para kader partainya untuk tetap berjuang meraih dukungan dengan mengupayakan kesejahteraan, keadilan, dan keamanan bagi segenap rakyat. Selanjutnya Blair akan menyerahkan kepemimpinan dan pencalonan Partai Buruh pada penggantinya, Gordon Brown, yang kini masih menjabat Menteri Keuangan Inggris.

Perdana Menteri termuda dalam sejarah Inggris Raya (memangku jabatan dalam usia 44 tahun) ini juga tak henti-hentinya menyampaikan terima kasih kepada seluruh anggota, para pendukung, mereka yang datang dan yang pergi, dan segenap rakyat yang ikut memilih partainya. Selain termuda, Blair adalah orang pertama dari Partai Buruh yang memangku jabatan Perdana Menteri Inggris tiga periode berturut-turut.

Pelajaran berharga

Perjalanan karir Tony Blair bisa menjadi pelajaran berharga bagi para pemimpin negeri ini, yang umumnya jauh lebih tua dari Blair. Setidaknya ada tiga hal yang bisa diteladani dari pemimpin yang bernama lengkap Anthony Charles Lynton Blair ini:

Pelajaran pertama, ketegasan dan konsistensinya dalam bersikap. Di negeri ini, terutama pada era kepemimpinan SBY-JK, ketegasan dan konsistensi menjadi barang langka. Pemerintah selalu ragu melangkah, gamang dalam menempatkan diri dalam kancah pergulatan politik, baik secara internal (urusan nasional, seperti kasus Gubernur Lampung) maupun dalam hubungan antar bangsa (urusan internasional, seperti dalam menyikapi proyek nuklir Iran).

Dalam kebijakan politik perekonomian yang menjadi tulang punggung kesejahteraan rakyat pun pemerintah selalu gamang mengambil keputusan. Tertundanya revisi UU tentang Ketenagakerjaan dan RUU Perpajakan merupakan bukti ketidaktegasan pemerintah. Akibatnya, stabilitas dunia usaha dalam negeri sangat rapuh, sementara investasi yang diharapkan datang dari luar negeri sulit masuk karena tidak adanya jaminan hukum dan stabilitas keamanan.

Pelajaran kedua, kesadaran Tony Blair akan posisi dirinya yang membuat ia tahu kapan saatnya memimpin dan kapan saatnya mundur. Bagi Blair, berpolitik bukan untuk meraih jabatan, tapi untuk menjamin kebebasan dan kesejahteraan rakyat.

Di negeri ini yang ada sebaliknya. Umumnya elite politik menjadikan jabatan sebagai tujuan. Karena ambisi meraih jabatan, elite politik kehilangan perspektif dalam melihat tanda-tanda zaman, gagal menentukan pilihan kapan dirinya harus maju dan kapan harus mundur dari pertarungan politik kekuasaan. Meskipun jelas-jelas tidak mendapat dukungan rakyat, ia tetap ngotot mempertahankan atau ingin merebut kembali jabatan yang pernah didudukinya. Partai-partai yang tidak lolos electoral threshold pun tetap dihidupkan, cukup dengan mengubah nama, demi untuk mempertahankan jabatan. Kesejahteraan rakyat menjadi prioritas yang nomor sekian, atau bahkan mungkin tidak pernah menjadi prioritas.



Pelajaran ketiga dari Tony Blair adalah tanggungjawabnya akan masa depan partai dan negaranya. Sebagai seorang pemimpin, Blair punya tanggungjawab menjaga kebebasan dan kesejahteraan rakyat, bukan hanya pada saat dirinya memimpin. Untuk itulah, sebelum lengser ia sudah mempersiapkan platform Partai Buruh Baru (New Labor) sekaligus pemimpin baru yang siap menjaga dan mengaplikasikan flatformnya itu.

Di negeri ini, umumnya elite politik bertindak sebagai penguasa, bukan pemimpin. Berbeda dengan pemimpin, penguasa meraih jabatan untuk memenuhi ambisi pribadi dan berusaha mempertahankannya walau mungkin harus dengan tangan besi. Masa depan partai (apalagi masa depan negara) tidak pernah mampir di benak penguasa. Maka tak jarang, setelah dirinya “dipaksa” lengser (karena tidak terpilih kembali), tak ada platform baru dan regenerasi yang disiapkan secara matang, sehingga partainya menjadi lemah atau bahkan terbelah.

Tapi, Tony Blair juga manusia. Di luar ketiga hal yang patut kita belajar darinya, ia juga memiliki sejumlah kelemahan. Koalisinya dengan Bush, misalnya, menuai kritikan tajam baik dari dalam maupun luar negeri. Itulah manusia, tak ada yang sempurna.