Thursday, October 19, 2006

Hak Berbeda Pendapat

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Menurut Universal Declarations of Human Rights (deklarasi universal mengenai hak-hak asasi manusia/HAM), salah satu hak-hak sipil dan politik yang dimiliki warga negara adalah hak untuk berpendapat tanpa mengalami gangguan (right to hold opinion without interference).

Logika inversi dari hak ini berarti ada hak untuk berbeda pendapat tanpa mengalami gangguan (right to hold opposition without interference), baik gangguan itu datangnya dari sesama warga negara, maupun dari pemerintah yang mewakili negara.

Soal hak berbeda pendapat ini penting kita ketengahkan karena dalam penetapan Idul Fitri tahun ini (1 Syawal 1427 H), ada kemungkinan perbedaan pendapat, antara Muhammadiyah yang telah menetapkan Idul Fitri jatuh pada hari Senin, 23 Oktober 2006, dengan komponen umat Islam lain yang kemungkinan menetapkan Idul Fitri pada hari berikutnya (Selasa, 24 Oktober 2006).

Kalau benar perbedaan penetapan Idul Fitri itu terjadi, menurut deklarasi HAM, pemerintah tidak punya hak untuk melakukan intervensi, misalnya dengan mengubah kalender Idul Fitri Muhammadiyah.

Dalam hal perbedaan pendapat, tugas pemerintah adalah melindungi masing-masing pihak --untuk tetap pada pendapatnya-- dari kemungkinan gangguan pihak lain. Olehkarenanya, tentu akan lebih baik jika dalam penentuan Idul Fitri tahun ini, pemerintah tidak perlu mengambil keputusan kapan Idul Fitri “versi pemerintah”. Jika pemerintah ikut menetapkan Idul Fitri, artinya pemerintah telah berpihak pada satu kelompok dan mengabaikan kelompok lainnya. Pemerintah bisa dinilai tidak adil.

Untuk kepentingan menumbuhkan rasa keadilan, pemerintah harus berdiri di atas semua golongan. Pemerintah cukup menetapkan hari libur nasional (sebagaimana yang selama ini dilakukan) dalam rangka Idul Fitri 1427 H. Dengan demikian, selain bisa dinilai adil, pemerintah juga telah menjalankan fungsinya sebagai pelindung dari hak-hak sipil dan politik warga negara.

Selain dijamin konstitusi, hak berbeda pendapat juga dijamin oleh doktrin Islam. Dalam Islam, sebagaimana yang sering kita dengar dari para ahli agama, perbedaan pendapat adalah rahmat. Islam jauh lebih menghargai orang yang berbeda pendapat –didasari argumentasi yang kuat—ketimbang mereka yang hanya ikut-ikutan pendapat orang lain. Dalam jurisprudensi Islam, yang pertama disebut mujtahid (orang yang berijtihad), sedangkan yang kedua disebut muttabi’ (mengikuti pendapat orang lain dengan memahami alasannya), atau muqallid (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui alasannya).

Saking tingginya penghargaan Islam terhadap mereka yang memfungsikan akalnya, para mujtahid itu tetap dijanjikan pahala bagi yang melakukannya, meskipun salah. Dan pahala berlipat ganda, jika ternyata hasil ijtihad itu benar adanya. Islam menganugerahkan derajat dua kali lipat bagi para mujtahid dibandingkan dengan para muttabi’ atau muqallid. Ini bukti bahwa Islam sangat mengharagai mereka yang telah memfungsikan akal sehatnya.

Selain itu, menurut kolumnis Mesir, Fahmi Huwaidi, berbeda pendapat dalam Islam itu bukan sekadar hak, tapi juga kewajiban. Gunanya untuk menghindari kemungkinan munculnya sikap monopoli kebenaran dalam agama, yang dinilai potensial mematikan akal sehat.