Friday, December 8, 2006

Budaya Malu

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Di negara-negara yang masih tergolong tetangga kita: Thailand dan Korea Selatan, budaya malu sudah dipraktikkan. Di kedua negara ini, para pejabat negara yang lalai atau gagal menjalankan tugas, atau karena sesuatu hal kehilangan legitimasi, akan mundur secara sukarela.

Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra misalnya, menyatakan diri mundur dari jabatannya karena malu, merasa sudah tak layak memimpin pemerintahan yang telah kehilangan legitimasi. Sedangkan Perdana Menteri Korea Selatan Lee Hae-chan dan Wakil Menteri Pendidikan Lee Gi-woo, mundur dari jabatannya karena bermain golf dengan para pengusaha ketika ribuan buruh kereta api tengah mogok massal di negaranya.

Thailand dan Korea Selatan bukan “negara Barat”. Keduanya masih serumpun dengan Indonesia sebagai sesama anggota ASEAN. Secara kultural, keduanya juga sangat dekat dengan Indonesia, memegang erat “budaya Ketimuran”. Namun, politik di kedua negeri itu mampu melahirkan negarawan yang mengedepankan kepentingan negara dan bangsa daripada kepentingan pribadi dan golongan.

Sementara di Indonesia, umumnya pemimpin (baca, penguasa) masih terpenjara oleh kepentingan diri dan golongannya. Ketika muncul tuntutan mundur, akan senantiasa diartikan sebagai tuntutan lawan.

Kelangkaan minyak tanah dan energi listrik yang sangat merugikan rakyat, belakangan ini misalnya, sudah jelas merupakan bukti dari kegagalan pejabat negara yang bertanggungjawab di bidang energi dan sumberdaya mineral (ESDM).

Tetapi, pada saat Menteri ESDM diminta mundur oleh sejumlah anggota DPR, sang menteri mengatakan bahwa dirinya bertanggungjawab kepada presiden. Soal mundur atau tidak, itu urusan presiden. Benar-benar tidak tahu malu. Ketidakmampuan diri sendiri tidak disadari. Sikapnya persis seperti anak belum akil balig yang berlindung di ketiak bapaknya pada saat ada serangan lawan.

Pada situasi demikian, kita segera teringat pada ungkapan pujangga Friedrich von Schiller yang pernah dikutip Bung Hatta “zaman besar telah dilahirkan abad, tetapi zaman besar itu hanya menemukan manusia kerdil”.

Kita telah melalui banyak zaman yang sering kita sebut dengan orde. Tapi, dari sekian banyak orde, hanya sedikit melahirkan manusia berjiwa besar seperti Bung Hatta yang secara elegan mengundurkan diri pada saat merasakan ada penyelewengan demokrasi pada era kepemimpinannya (bersama Soekarno).

Bung Hatta tak berbuat salah, tapi ia merasa dirinya berada di tempat yang salah. Ia malu pada rakyat yang mempercayai integritas dirinya jika tetap bersikukuh pada jabatannya (sebagai Wakil Presiden mendampingi Presiden Soekarno).

Bagi Bung Hatta, lebih baik menjadi mantan pejabat tapi terhormat, daripada menjadi pejabat tapi tidak terhormat. Suatu sikap yang kini hilang dari umumnya elite politik kita.

Mundur Sebagai Kehormatan

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Terungkapnya skandal seks yang dilakukan Yahya Zaini dengan penyanyi dangdut Maria Eva, telah mencoreng nama baik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Partai Golkar. Sebagai “anggota dewan yang terhormat”, mantan Ketua Umum PB HMI yang menduduki jabatan strategis di Partai Golkar ini telah gagal menjaga kehormatan diri dan jabatannya.

Namun pada saat ia secara sukarela menyatakan diri mundur, menurut saya, Yahya Zaini masih lebih terhormat dibandingkan pejabat negara yang sejatinya sudah tak punya kehormatan –baik karena pelanggaran hukum maupun karena gagal menunaikan tugas—namun tetap bersikukuh pada kursi jabatan yang didudukinya.

Perbuatan Yahya Zaini memang nista, tetapi dampak buruknya bagi kelangsungan hidup rakyat banyak tidak terasa. Berbeda misalnya, pada saat kebutuhan pokok –seperti BBM, beras dan pupuk, serta aliran listrik—hilang dari peredaran, dampaknya sangat buruk. Rakyat akan menderita dan negara dirugikan miliaran atau bahkan triliunan rupiah. Yahya Zaini layak mundur, namun pejabat negara yang bertugas memenuhi kebutuhan pokok bagi rakyat namun gagal menunaikan tugasnya lebih layak lagi mundur.

Kelangkaan minyak tanah yang puncaknya terjadi pada akhir bulan lalu, dan kurangnya pasokan energi listrik di sejumlah daerah, adalah bukti dari kegagalan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro. Anehnya, pada saat sejumlah anggota DPR memintanya mundur, dengan tanpa beban ia menolak seraya menyebut dirinya hanya sebagai pembantu presiden dan bertanggungjawab kepada presiden. Hak prerogatif presiden dijadikan legitimasi untuk menutupi kegagalan dan mengelak dari pertanggungjawaban.

Padahal, mundur merupakan keharusan bagi pejabat negara yang lalai atau gagal menunaikan tugas. Inilah, misalnya yang beberapa waktu lalu telah ditempuh Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra, dan Perdana Menteri Korea Selatan Lee Hae-chan.

Meskipun di mata para pendukungnya, baik Thaksin maupun Lee, dianggap sukses menjalankan roda pemerintahan, terutama dalam meningkatkan perekonomian negaranya, toh para pendukung itu justru bangga ketika pemimpinnya mundur secara kesatria.

Tidak seperti di Thailand atau Korea Selatan, di negeri kita, pejabat dan para pendukungnya punya watak dan ambisi yang sama: mati-matian mempertahankan jabatan. Bisa perlu sampai berdarah-darah. Kita masih ingat bagaimana reaksi pendukung Presiden Abdurrahman Wahid ketika dipaksa mundur melalui impeachment, Juli 2001. Begitu pula para pendukung Megawati Soekarnoputeri pada saat kalah dalam pemilihan presiden di arena Sidang Umum MPR Oktober 1999.

Kita telah memiliki sejumlah mantan presiden, namun yang sangat disayangkan, tidak satu pun di antara mereka menyatakan pengunduran diri secara elegan. Semua mundur kaarena adipaksa keadaan. Mungkin hanya Habibie yang relatif agak terhortmat, tetapi pengunduran diri Habibie dari pencalonan pemilihan presiden oleh MPR tahun 1999 lebih karena penolakan atas laporan pertanggungjawabannya, bukan karena laporannya diterima lantas ia mundur dari pencalonan.

Kita tidak sedang mempersoalkan hak-hak mereka sebagai warga negara, yang barangkali punya hak untuk mempertahankan apa-apa yang dimiliki (termasuk jabatan). Kita hanya melihat, betapa pada akhirnya jabatan sebagai presiden yang pernah mereka raih menjadi kehilangan arti ketika mereka menjadi mantan presiden --kecuali di lingkungan loyalisnya masing-masing. Bebeda misalnya dengan Nelson Mandela, Jimmy Carter, Bill Clinton, Lee Kuan Yew, Mahathir Mohamad, dan last but not least, Muhammad Hatta yang kharismanya justru naik pada saat sudah lengser dari jabatan penting yang didudukinya.

Bangsa ini, sebagaimana juga bangsa lainnya, sangat merindukan para legendaris yang bisa mundur secara terhormat. Karena mundur dari ketidakmampuan dan atau kegagalan menjalankan tugas bukan tindakan nista, melainkan kehormatan.

Kita masih ingat, beberapa waktu lalu Wakil Menteri Pendidikan Korea Selatan, Lee Gi-woo, mundur dari jabatannya karena bermain golf dengan para pengusaha ketika ribuan buruh kereta api tengah mogok massal di negaranya.

Ia pun meminta maaf atas kelalaiannya, bermain golf pada saat rakyat menghadapi kesulitan transportasi akibat mogok massal. Padahal bermain golf bukanlah perbuatan tercela. Tetapi bermain golf dengan pengusaha, terlebih di antara mereka ada pengusaha bermasalah, tentu akan memunculkan dugaan lain. Dugaan yang mengarah pada skandal politik.

Mundurnya pejabat publik merupakan keteladanan dan cermin dari adanya rasa tanggung jawab. Tanggung jawab pejabat negara adalah memenuhi kebutuhan rakyatnya. Ketika ia gagal memenuhi kebutuhan itu seyogianya dengan kesatria meminta maaf dan mengundurkan diri dari jabatannya.

Bagi setiap pemimpin yang tidak memperlakukan kekuasaan sebagai segala-galanya, mundur karena kehendak rakyat (meskipun belum tentu mewakili suara mayoritas) merupakan hal yang lumrah dan sangat beradab. Rumusnya sederhana, jabatan sebagai pejabat negara adalah amanat rakyat, pada saat sang pejabat gagal menunaikan amanat itu, ia harus rela melepaskan atau mengembalikannya pada kehendak rakyat.