Friday, January 12, 2007

Pentingnya Komunikasi Antar Elite

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Seusai Rakernas, 7-9 Januari 2007, di Bali, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggelar acara ulang tahun (HUT) ke-34 dengan mengundang tokoh-tokoh nasional antara lain Abdurrahman Wahid, Syafii Maarif, Akbar Tandjung, Try Soetrisno, Hasyim Muzadi, dan Din Syamsuddin.

Meskipun tidak semua tokoh yang diundang hadir, namun sudah cukup bagi kita untuk menangkap sinyal apa di balik undangan tersebut. Setidaknya, tampak dengan jelas PDIP berupaya menjalin komunikasi dengan elite-elite negeri ini yang sangat jarang atau bahkan secara formal tidak pernah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekalipun.

Dengan menjalin komunikasi antar elite, PDIP tampaknya ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak eksklusif, mau membuka diri dengan semua kalangan, termasuk dari kelompok yang dalam Pemilu 2004 lalu tidak mendukung, atau bahkan menjadi lawan PDIP.

Di tengah situasi tanah air kita yang penuh dengan cobaan –terutama disebabkan karena bencana yang datang bertubi-tubi—komunikasi antar elite politik menjadi sangat urgen. Dengan berkomunikasi secara intensif, para tokoh itu diharapkan bisa bertukar pikiran untuk mencari jalan keluar dari segala masalah yang dihadapi bangsa ini.

Yang menjadi pertanyaan kita, kenapa upaya-upaya konstruktif semacam ini tidak dilakukan pada saat PDIP berkuasa, atau pada saat Megawati Soekarnoputeri masih menjadi orang nomor satu di negeri ini? Padahal jika komunikasi antar elite itu dimotori oleh presiden, tentu pesan yang ditangkap publik akan lain.

Komunikasi antar elite yang digagas presiden akan menunjukkan kenegarawanan sang presiden. Presiden ingin mengajak semua komponen bangsa untuk bersatu, bersama-sama mencari penyelesaian segala persoalan yang dihadapi. Sayangnya, Megawati melakukan itu pada saat tidak lagi menjadi Presiden, bukan pada saat masih menjadi Presiden.

Karena itu, bukan tidak mungkin, akan banyak kalangan melihat PDIP –dengan mengundang tokoh-tokoh itu—sebagai manuver politik, setidaknya agar mereka mendukung Megawati sebagai calon presiden 2009 mendatang sebagaimana yang telah direkomendasikan dalam Rakernas.

Tapi, sudahlah. Terlepas dari beberapa kekurangan PDIP, apa yang dilakukannya di Bali, patut kita apresiasi. Artinya masih ada kemauan bagi PDIP untuk membuka diri, merangkul tokoh-tokoh yang berpengaruh baik secara sosial maupun politis.

Pasti akan lebih baik jika upaya demikian (komunikasi antar elite) itu dilakukan oleh SBY yang kini tengah berkuasa. Mengapa demikian? Karena presiden yang masih duduk di kursi jabatannya, tentu akan lebih mengetahui dan memahami detil persoalan yang dihadapi bangsa ini. Dengan memahami detil persoalan, akan lebih mudah bagi presiden untuk mencari jalan keluarnya, apalagi jika didukung dengan jalinan kerjasama yang erat dengan berbagai golongan dan lapisan masyarakatnya.

Masalahnya, sekarang ini, ada kesan yang kuat bahwa Presiden SBY berjalan one man show, enggan berkomunikasi dan meminta gagasan pada para elite politik yang berada di luar kekuasaan. Padahal, persoalan yang dihadapinya (terutama berbagai bencana) sangatlah berat. Percayalah, persoalan yang berat akan terasa ringan jika dihadapi dan ditanggulangi bersama-sama.