Friday, February 9, 2007

Mimpi Bebas Banjir

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Menjadikan Jakarta bebas banjir tampaknya belum menjadi harapan, melainkan masih angan-angan. Ada perbedaan mendasar antara harapan dan angan-angan. Harapan adalah keinginan yang didukung sejumlah fakta yang mengarah pada terwujudnya keinginan, betapa pun kecilnya fakta itu. Sedangkan angan-angan merupakan keinginan yang tidak didukung oleh fakta, atau malah didukung oleh fakta yang semakin menutup kemungkinan terwujudnya keinginan itu. Angan-angan lebih menyerupai mimpi daripada harapan.

Mari kita perhatikan fakta-fakta ini. Pertama, luas tanah Jakarta tidak bertambah, atau malah makin menyempit karena abrasi, sementara penduduknya terus bertambah. Kedua, tanah kosong atau jalur hijau yang diharapkan menjadi lahan serapan air semakin berkurang lantaran pemukiman dan fasilitas bisnis yang terus bertambah dan melebar secara horizontal. Ketiga, bantaran sungai yang mestinya menampung air pada saat pasang, umumnya tertutup oleh hunian –baik resmi maupun liar—dan sampah-sampah. Lebar sungai-sungai di Jakarta semakin menyempit, dari yang umumnya 75 meter menjadi 35 meter. Keempat, kondisi lingkungan di wilayah hulu sungai (terutama Bogor dan Cianjur) yang makin buruk semakin menambah debet air yang mengalir turun ke wilayah Jakarta. Kelima, belum tumbuhnya kesadaran kolektif untuk menanggulangi kemungkinan timbulnya bencana, terutama yang disebabkan banjir.

Mengapa fakta-fakta itu muncul? Tak perlulah kita mencari kambing hitam, misalnya dengan menyalahkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau masyarakat. Menurut saya, masing-masing dari tiga komponen ini punya andil dalam memunculkan fakta-fakta di atas.

Menjadikan Jakarta bebas banjir tampaknya tidak realistis, yang paling mungkin adalah bagaimana menjadikan kota metropolitan ini –meminjam istilah seorang teman, Eep Saifulloh Fatah—bersahabat dengan banjir. Artinya, banjir memang tak dapat dihindari. Pada saat curah hujan melebihi ambang batas penampungan drainase yang ada di Jakarta, sudah pasti ibukota kita ini akan terendam air.

Meskipun kita tak bisa menolak, setidaknya Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) bisa memperkirakan kapan datangnya curah hujan yang berlebih itu. Dari perkiraan BMG, pemerintah bisa memberikan peringatan dini, dan seluruh komponen masyarakat –dibantu pemerintah—bisa “menyambut” kedatangan banjir dengan persiapan yang cukup sehingga tidak menimbulkan dampak yang destruktif luar biasa seperti yang terjadi sekarang ini. Semakin kecil dampak yang timbul akibat banjir, semakin pandailah kita bersahabat dengan “bencana umat Nabi Nuh” ini.

Banjir bisa datang kapan saja tanpa peduli presidennya siapa, gubernurnya dari mana, dan masyarakatnya dari golongan atau suku apa. Oleh karena itu, jika ada pejabat atau calon pejabat yang menjanjikan Jakarta bebas banjir, tak perlu hirau karena ia sedang bermimpi..

Yang dibutuhkan dari pejabat atau calon pejabat adalah political will untuk: (1) bersama segenap komponen masyarakat meminimalisasi kebiasaan buruk yang menimbulkan banjir; (2) menegakkan peraturan yang berkaitan dengan penggunaan lahan dan tata ruang atau tata kota; (3) menumbuhkan sensitivitas masyarakat –tanpa harus paranoia—sehingga menumbuhkan kesiap-siagaan kolektif pada saat bahaya banjir mengancam.