Saturday, September 9, 2006

Etika Berpartai

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Setiap partai politik, apapun namanya, pasti memiliki AD/ART, pedoman organisasi, dan lain-lain, yang sengaja dibuat dan diputuskan secara bersama-sama untuk dijadikan aturan main yang harus dijunjung tinggi dan ditaati oleh seluruh anggota partai yang bersangkutan.

Menaati aturan main partai –meskipun mungkin tidak diatur dalam kitab suci—bisa dijadikan salah satu rujukan dalam menilai kepribadian seseorang. Ketaatan terhadap peraturan yang ada dalam partai, bisa dijadikan salah satu ukuran bagi tinggi rendahnya derajat etika seorang kader partai dalam meniti karir politik ke jenjang berikutnya, misalnya untuk menjadi pejabat publik.

Artinya, mereka yang pada saat menjadi pengurus atau kader partai sudah terbiasa melanggar aturan main, kemungkinan besar kebiasaan buruk itu akan terbawa pada saat menjadi pejabat publik. Maka etika berpartai menjadi penting diperhatikan, terutama bagi mereka yang ingin maju sebagai calon pejabat publik, seperti kepala negara atau kepala daerah.

Untuk calon kepala daerah misalnya, dari sudut pandang legalitas formal, siapa pun boleh saja maju sebagai calon kepala daerah, dari partai apa pun (baik partainya sendiri atau partai orang lain) asalkan partai yang dimaksud sudah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam undang-undang kepartaian. Tetapi, dari sudut pandang etika berpartai, tentu kita bisa menilai pada saat seseorang dengan begitu mudahnya melanggar aturan main partai, atau bahkan meninggalkan partainya sendiri, demi untuk memenuhi ambisinya menjadi calon kepala daerah.

Untuk menilai orang yang berbuat demikian, ada rumusan etika yang bisa kita jadikan pedoman, yakni the end justified the mean (tujuan menghalalkan cara). Cara apa pun bisa ditempuh asalkan tujuan bisa dicapai. Aturan main partai, atau bahkan partainya sendiri, bisa dicampakkan asalkan bisa menjadi calon kepala daerah.

Pada saat hiruk pikuk menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) seperti sekarang, Niccolo Machiavelli (1469-1527), tampaknya akan laris manis menjadi rujukan. Mungkin saja, karena tidak mengenal siapa itu Machiavelli, seseorang tidak merasa menjadi pengikutnya. Padahal tindak tanduk dan tatacara mencapai tujuan yang ditempuhnya, cocok benar dengan yang diajarkan negarawan kontroversial dari Italia zaman Renaissance itu.


Maka, kalau boleh saya berpesan: kepada siapa pun yang punya hak pilih untuk memilih kepala daerah, ada baiknya berhati-hati. Ibarat kata pepatah, teliti sebelum membeli, maka perhatikan dulu baik-baik para calon yang akan dipilih, terutama dari segi integritas pribadinya. Apakah yang bersangkutan sudah terbiasa menghargai aturan main yang dibuatnya sendiri atau tidak? Jawaban atas pertanyaan ini bisa dijadikan salah satu dasar penilaian.