Friday, December 15, 2006

Pelajaran dari Serambi Mekah

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur dan Bupati/Walikota yang berlangsung serempak di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Senin (11/12) lalu memberikan pelajaran berharga bagi partai politik.

Besaran jumlah pendukung dalam Pemilu 2004 lalu, konsolidasi dan kampanye yang berbusa-busa, ternyata tidak berpengaruh. Partai Golkar dan PDIP boleh berjaya di Banten dengan memenangkan Ratu Atut-Masduki. Di Aceh, kedua partai besar ini harus gigit jari, menjadi pecundang.

Menurut hasil perhitungan cepat (quick count) Lingkaran Suvei Indonesia (LSI) dan Jaringan Isu Publik (JIP), pasangan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar memperoleh kemenangan suara mutlak dibandingkan pasangan-pasangan lain. Padahal, tidak ada partai yang mendukung pasangan ini. Irwandi-Nazar, seperti kita tahu, adalah aktivis Gerakan Aceh Merdea (GAM) yang maju lewat jalur independen.

Kemenangan Irwandi-Nazar ini menjadi kritik tajam, bukan hanya pada partai politik, tapi juga pada sistem politik, terutama keberadaan UU Pemilu, UU Partai Politik, dan UU Susduk yang masih memberikan kekuasaan pada partai politik. Oligarki partai terbukti tidak efektif, setidaknya di bumi Serambi Mekah.

Kalau kita mau sedikit jeli membaca fenomena Pilkada di seluruh Indonesia, sebenarnya bukan hanya Aceh yang bisa membuktikan betapa tidak efektifnya oligarki partai. Jika oligarki partai berfungsi, seharusnya Partai Golkar dan PDIP bisa menang di mayoritas wilayah Indonesia. Nyatanya tidak demikian.

Secara normatif, oligarki partai akan memutus aspirasi publik. Mayoritas rakyat harus rela memilih calon-calon yang telah menjadi pilihan partai politik. Jika aspirasi partai ekuivalen dengan aspirasi rakyat, tentu tidak ada masalah. Pada faktanya, aspirasi rakyat hanya dijadikan bahan kampanye. Setelah pemilihan usai, aspirasi rakyat umumnya ditekuk, dilipat, dan dimasukkan keranjang sampah.

Untuk para wakil rakyat yang kini tengah memperbarui UU Politik, cobalah berpikir jernih. Belajarlah pada Aceh yang bukan hanya menjadi perhatian publik Indonesia, tapi juga publik internasional. Di Aceh, Pilkada berjalan efisien karena dilakukan secara serempak. Mengapa tidak dibuat hal yang sama untuk wilayah seluruh Indonesia?

Di Serambi Mekah, calon-calon kepala daerah relatif selamat dari pemerasan partai-partai karena adanya jalur independen. Mengapa juga tidak diberlakukan di seluruh Indonesia?

Dengan adanya pencalonan melalui jalur independen, demokrasi tak terkebiri, hak asasi tak terbeli. Tanpa tergantung pada partai politik, setiap orang punya hak untuk mencalonkan atau tidak mencalonkan diri.

Banyak yang berpendapat, calon independen tidak berkeringat. Betulkah? Saya tidak percaya. Berkeringat atau tidaknya seseorang bukan dinilai dari kiprahnya pada partai, bukan dari besaran uang setorannya pada partai, tapi dinilai dari dedikasinya pada rakyat, sumbangsihnya pada bangsa.

Bagi masyarakat Serambi Mekah, meskipun bukan aktivis partai, Irwandi-Nazar dianggap lebih berkeringat memperjuangkan rakyat Aceh, dibandingkan calon-calon yang lain. Hasil Pilkada membuktikan itu.