Thursday, October 12, 2006

Persamaan Di Depan Allah

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Dalam perspektif demokrasi dan hak-hak asasi manusia (HAM), kita mengenal prinsip equality before the law yang artinya persamaan di depan hukum. Di antara prinsip-prinsip demokrasi dan HAM yang lain, barangkali prinsip inilah yang paling mutlak, harga mati.

Hak berpendapat, hak berbicara, hak berkumpul dan mengeluarkan pendapat, dan hak-hak lain yang dijamin demokrasi dan HAM bisa saja ditafsirkan dan diterapkan secara kontekstual, bahkan ada yang cukup dianggap terpenuhi dengan sistem perwakilan.

Tetapi, persamaan di depan hukum tidak bisa dikontekstualisasikan, tidak bisa diwakilkan pada orang lain. Maka wajar jika muncul adagium “walau langit akan runtuh, hukum harus ditegakkan”. Artinya, hukum harus diberlakukan secara adil kepada siapa pun, di mana pun, dan kapan pun.

Di depan hukum tak ada diskriminasi. Pemihakan hukum hanya pada kebenaran, di pihak mana pun kebenaran itu berada, apakah di pihak jenderal atau koperal, di pihak pejabat negara atau tukang becak. Sama saja.

Dalam perspektif sosiologis, hukum itu bisa berasal dari kesepakatan-kesepakatan (kontrak sosial) yang kemudian diinstitusionalisasikan dan dikompilasikan dalam bentuk undang-undang. Dalam perspektif teologis, hukum itu berasal dari Allah. Dalam proses hubungan kemanusiaan di muka bumi, hukum Allah biasa disebut Sunnatullah dengan legitimasi sejumlah dalil, baik yang berasal dari al-Quran maupun al-Hadits.

Sebagaimana di depan hukum, di depan Allah, manusia memiliki posisi yang sama (equality before Allah), tak ada diskriminasi. Allah tidak melihat tanda kepangkatan atau atribut-atribut lain yang melakat pada diri manusia, termasuk atribut-atribut yang berdimensi keagamaan seperti gelar haji, kiai, dan ustadz.

Yang dilihat Allah hanyalah kebenaran dan kebaikan (ketakwaan, kesalehan, ketulusan, keluhuran budi), di mana pun dan dimiliki oleh siapa pun kebenaran dan kebaikan itu. Maka tak ada jaminan seorang haji, kiai, atau ustadz masuk surga sebagaimana tak ada jaminan masuk neraka mereka yang tak disukai Pak Haji, Pak Kiai, atau Pak Ustadz.

Yang menentukan di akhirat kelak seseorang masuk surga atau neraka adalah kebaikan dan atau keburukan yang ditanamnya pada saat hidup di dunia. Pak Haji yang baik budi akan masuk surga bukan karena hajinya, tetapi karena kebaikan budinya. Begitu pun para penjahat, akan masuk neraka karena kejahatan yang dilakukannya.

Barang siapa menanam kebaikan pasti akan memetik buahnya, dan barangsiapa menanam kejahatan pasti ia akan menerima balasannya yang setimpal. Itulah Sunnatullah yang berlaku bagi siapa pun, termasuk mereka yang tidak percaya pada Allah.

Para pemimpin, terutama para aparat hukum, seyogianya menerapkan equality before the law di muka bumi ini, sebagaimana Sunnatullah yang berlaku tanpa pandang bulu.