Friday, February 23, 2007

No Trust Society

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Dalam suatu perbincangan dengan pemilik Power PR, Christovita Wiloto, terungkap pertanyaan, “mengapa kita begitu sulit keluar dari berbagai masalah?”. Secara normatif, tidak sulit menjawab pertanyaan ini karena memang banyak sekali teori tentang pemecahan masalah yang jitu, misalnya dengan teori “ice breaking” dan lain-lain.

Yang sulit adalah bagaimana mempraktikannya. Kesulitan muncul karena sekarang ini kita berada dalam suatu masyarakat yang berisi individu-individu yang tidak memiliki rasa saling percaya satu sama lain (no trust society). Ketidaksalingpercayaan itu dapat kita temukan misalnya dalam unit keluarga, ormas, parpol, atau bahkan dalam tubuh pemerintah kita.

Populernya lagu “SMS” yang mengisahkan tentang ketidaksalingpercayaan antara suami dan istri menggambarkan betapa sulitnya membangun rasa saling percaya dalam keluarga. Apalagi dalam unit yang lebih besar, misalnya dalam ormas, parpol, atau bahkan dalam kehidupan bernegara.

Orang hanya percaya pada dirinya sendiri. Coba perhatikan, pada saat ormas atau parpol melakukan pemilihan pemimpin baru, tak jarang calon-calon yang tak terpilih dalam proses pemilihan itu di kemudian hari akan mendirikan ormas atau parpol baru lantaran tak percaya dengan kepemimpinan orang lain. Motivasi berorganisasi bukan untuk merealisasikan cita-cita atau ideologi tertentu, tapi sekedar untuk “kursi pimpinan” yang menjadi pelepas libido kekuasaan.

Dalam bernegara pun demikian, begitu banyak lembaga-lembaga negara lahir dengan nama komisi ini-itu, atau lembaga ini-itu, lantaran tidak percaya dengan lembaga-lembaga yang sudah ada. Apakah dengan demikian masalah menjadi selesai? Tidak juga. Yang ada hanyalah pemborosan uang negara di tengah sebagian besar warga negara yang kian terpuruk lantaran hidup dalam kemiskinan.

Semakin kita hidup dalam suasana no trust society, akan semakin besar masalah-masalah yang kita hadapi. Karena sekecil apa pun masalah, bila ditangani dengan rasa saling curiga (apalagi dengan pertikaian), tidak mungkin masalah itu bisa kita atasi.

Maka, bagaimana mangatasi masalah-masalah bangsa yang kian kompleks ini, kata kuncinya adalah dengan kebersamaan dan rasa saling percaya dan saling membantu. Inilah yang disebut oleh Robert Putnam (1993, 1995, 2002), Prancis Fukuyama (1999, 2002), James Coleman (1990, 1998), dan masih ada beberapa ilmuan yang lain, sebagai social capital (modal sosial).

Secara garis besar, modal sosial memiliki unsur-unsur seperti adanya partisipasi dalam suatu jaringan, reciprocity (saling berbalas kebajikan), trust (kepercayaan), norma-norma sosial, nilai-nilai, dan tindakan-tindakan yang proaktif.

Melihat berbagai masalah yang kita hadapi, kiranya modal sosial merupakan keniscayaan yang harus kita tumbuhkan mulai dari diri kita masing-masing, dalam keluarga kita, organisasi yang kita ikuti, dan dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita jalani. Dengan modal sosial yang memadai, sebesar apa pun masalah yang ada di negeri ini, tentu akan terasa ringan dan mudah diatasi.