Tuesday, November 14, 2006

Jusuf Kalla dan Peluang Menjadi Presiden

Oleh Jeffrie Geovanie
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Provinsi Lampung mengusulkan agar Jusuf Kalla ditetapkan sebagai Calon Presiden Partai Golkar dalam Pemilu Presiden 2009 mendatang tanpa melalui Konvensi. Alasannya, antara lain karena Ketua Umum Partai Golkar ini cukup memenuhi kriteria sebagai calon presiden.

Namun, tampaknya Jusuf Kalla cukup tahu diri. Sebagai orang yang berasal dari luar Jawa, Kalla merasa dirinya tak perlu bermimpi menjadi Presiden RI.

Pernyataan Kalla ini bisa bermakna ganda, pertama suatu keyakinan (lebih tepatnya persepsi) adanya realitas politik Indonesia yang masih didominasi kultur Jawa, dan kedua, bisa juga sebagai pernyataan tak langsung bahwa dirinya cukup layak menjadi presiden, andaikan ia diberi kesempatan.

Benarkah persepsi kesempatan menjadi presiden hanya dibatasi oleh etnis tertentu? Jawaban atas pertanyaan ini ada pada hasil-hasil riset mengenai calon presiden. Menurut temuan beberapa kali survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), etnisitas bukanlah faktor signifikan yang menjadi alasan seseorang memilih presiden. Umumnya responden memilih presiden lebih karena alasan-alasan yang fungsional dan pragmatis seperti kemampuan mengatasi problem-problem ekonomi dan sosial, kecakapan memimpin, kejujuran pada rakyat, dan kemampuan memberantas korupsi.

Soal etnisitas, jender (jenis kelamin), dan bahkan tingkat pendidikan bukan menjadi alasan yang signifikan. Artinya, persepsi bahwa hanya orang Jawa yang bisa menjadi presiden terbantahkan oleh hasil survei yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis. Apalagi, jika dilihat dari perkembangan populasi, sudah ada perimbangan antara penduduk Indonesia yang beretnis Jawa dengan yang non-Jawa.

Bukan Karena Etnis

Dalam beberapa kali survei calon presiden yang dilakukan LSI, Susilo Bambang Yudhoyono yang tengah menjabat Presiden RI tetap mendominasi dukungan rakyat jika dibandingkan dengan calon-calon lain. Jusuf Kalla yang kini menjadi Wakil Presiden, popularitasnya masih jauh di bawah Yudhoyono. Bahkan jika dibandingkan dengan Megawati Soekarnoputeri dan Amien Rais pun, Kalla masih ada dibawah.

Mengapa publik masih relatif percaya dan akan memilih (kembali) Yudhoyono pada Pemilu Presiden mendatang. Alasannya jelas bukan karena Yudhoyono orang Jawa. Yudhoyono dipersepsikan publik sebagai tokoh yang relatif lebih memiliki kemampuan memimpin jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain, di samping ia juga dianggap relatif lebih mampu mengatasi persoalan-persoalan bangsa, terutama dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial.

Itulah persepsi publik, yang masih perlu dibuktikan secara empiris, apakah benar atau tidak. Bahwa persepsi tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan adalah hal yang lumrah dalam politik. Tapi, yang jelas, di balik persepsi yang positif senantiasa tersimpan harapan baru yang positif pula. Saya kira, di sinilah kunci kemenangan Yudhoyono.

Tak Pelu Dikejar

Jangankan tokoh yang sudah duduk menjadi Wakil Presiden, tokoh yang tak memiliki jabatan formal seperti Akbar Tandjung pun masih punya peluang untuk menjadi Presiden mendatang. Artinya, Jusuf Kalla cukup punya peluang. Tinggal bagaimana peluang itu dikelola menjadi modal politik yang bisa mengantarkannya menjadi Presiden RI.

Untuk sekarang ini, pada saat popularitas Yudhoyono masih mendominasi, peluang Kalla memang masih kecil. Apalagi, mengingat jabatan yang didudukinya sekarang, rasanya memang tidak etis jika Kalla berfikir –apalagi berusaha—untuk meraih jabatan Presiden.

Upaya-upaya Kalla untuk meraih jabatan Presiden justru akan semakin memperkecil peluangnya lantaran (kemungkinan besar) ia akan dipersepsikan bagaikan “Brutus” atau musuh dalam selimut. Padahal yang diinginkan publik sekarang adalah bagaimana agar duet SBY-Kalla bisa bekerja sama, berjalan harmonis, tidak terjebak pada rivalitas.

Mungkin benar kata orang bijak, bahwa jabatan itu ibarat cinta. Untuk mendapatkannya tidak perlu dikejar, cukup dengan menebar pesona. Semakin dikejar, jabatan akan semakin jauh dari genggaman.

Saya kira, strategi inilah yang diterapkan Yudhoyono, ia merasa tidak perlu berupaya mengejar jabatan kepresidenan untuk yang kedua kalinya. Cukup dengan menebar pesona, dan sebisa mungkin menghindari kontroversi, diyakini akan semakin memperbesar peluangnya (kembali) menjadi Presiden RI.

Memperbaiki Komunikasi

Kita yakin, Jusuf Kalla memiliki sejumlah kriteria yang cocok untuk memimpin bangsa yang sedang terpuruk ini. Ia adalah pekerja keras, penuh inisiatif, mandiri, pantang menyerah, dan kalkulatif (terukur).

Masalahnya, barangkali sifat-sifat konstruktif yang khas dari seorang saudagar itu tampaknya belum benar-benar diketahui secara proporsional (apalagi melekat) di hati publik. Atau bisa juga publik menganggap sifat-sifat semacam itu memang suatu keharusan bagi seorang pemimpin, siapa pun orangnya. Artinya, publik menganggap, tak hanya Jusuf Kalla yang memiliki sifat-sifat demikian.

Artinya mungkin masih ada kesalahan persepsi atas kepribadian dan performace Jusuf Kalla. Kalau memang demikian, (jika ia benar-benar ingin menjadi Presiden) tampaknya penting bagi Kalla untuk membangun kominikasi politik yang benar, di samping tentu harus tetap menjalankan tugas-tugasnya sebagai Wakil Presiden. Penilaian publik atas kesuksesan Jusuf Kalla dalam menjalankan tuigas-tugas sebagai Wakil Presiden akan menjadi modal politik yang sangat potensial untuk menjadikan dirinya sebagai Presiden mendatang.